Minggu, 14 Desember 2008

Dikir dalam Adat Mandailing

Dikir adalah salah satu bentuk kesenian Islam yang sudah sejak lama hidup dan berkembang di luat Mandailing. Seni pertunjukan Dikir terdiri atas tiga atau empat pemain “gondang dikir” sebagai pengiring nyanyian Dikir, namun adakalanya salah seorang pemain “gondang dikir” itu sekaligus bertindak sebagai penyanyi utamanya dan yang lainnya bertindak sebagai “penyanyi latar”.Seni pertunjukan Dikir ini dapat dikategorikan sebagai “musik polifoni” yang diselenggarakan pada hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Hari RayaIslam Idil Fitri. Selain itu, Dikir sering pula dipertunjukkan dalam upacara adat perkawinan seperti horja haroan baru dan mebat.

“Gondang Dikir” adalah sejenis rebana berukuran besar dengan diameter 600 hingga 900 mm berbentuk bulat. Bagian atasnya dilapisi membran dari kulit lembu atau kambing, sedangkan bagian bawahnya tidak ditutup (terbuka). Adapun lagu-lagu yang dibawakan berbahasa Arab dengan memakai modus-modus tertentu dari tradisi musik Pan-Islam di Jasirah Arab. Tema lagu antara lain berisi sejarah Nabi Muhammad SAW, ajaran-ajaran agama Islam dan lain sebagainya. Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah dari manakah masuknya seni pertunjukan Dikir ke Mandailing? Di sebelah selatan luat Mandailing terdapat etnik Minangkabau yang sejak dari dahulu sudah mengadakan kontak dengan masyarakat Mandailing. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa di daerah Mandailing Julu (Kecamatan Kotanopan) sampai sekarang masih ditemukan tempat-tempat yang bernama ”Garabak ni Agom” di sekitar Huta na Godang. Julukan ”Garabak ni Agom” diberikan kepada bekas tempat orang Agam (orang Minangkabau) menambang emas di Mandailing Julu pada masa lalu. Di samping itu dari bahan-bahan bacaan perihal gerakan Kaum Paderi di Minangkabau dapat diketahui bahwa pada masa dasa warsa kedua abad ke 19 (antara tahun 1815-1820) Kaum Paderi sudah mulai memasuki wilayah Mandailing untuk menyebarkan agama Islam. Di tahun-tahun sebelumnya beberapa raja di Mandailing sudah beragama Islam, tetapi penyebarannya secara luas waktu itu belum terlaksana, dimana sebagian besaranak negeri Mandailing masih menganut animisme (kepercayaan sipelebegu). Dapat ditambahkan, sudah ada pula orang-orang Mandailing yang pergi belajar agama Islam ke Bonjol, seperti yang dikemukakan oleh Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama (1963:96). Sementara itu Kaum Paderi yang melakukan penyebaran agama Islam di wilayah Mandailing sudah sampai ke daerah Angkola dan Padang Lawas yang pada masa itu dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai (lihat F.M. Schanitger, The Forgotten Kingdom in Sumatera, 1964:71-84).

Berangkat dari fakta sejarah di atas, bahwa Islam dibawa oleh Kaum Paderi ke Mandailing, namun kesenian Dikir belum dapat dipastikan berasal atau atas prakarsa Kaum Paderi. Hal ini mengingat Kaum Paderi sendiri adalah Kaum Wahabi yang sangat membenci atau tidak membenarkan praktek kesenian. Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao, dimana pada halaman 179 dituliskan bahwa sebagian kecil dari penduduk Padang Lawas Selatan sudah beragama Islam, yang berkembang dari Kesultanan Malaka sejak kurang lebih tahun 1451 M. Apabila keterangan ini dapat dibuktikan kebenarannya, dimana dari Padang Lawas Selatan tersebut penyebaran agama Islam bergerak ke Mandailing. Kenyataan ini dapat kita kaitkan pula dengan keterangan bahwa sebelum Kaum Paderi memasuki wilayah Mandailing sudah ada raja-raja Mandailing yang memeluk agama Islam. Bahkan lebih awal dari Minangkabau dimana Syekh Burhanuddin, kira-kira bersamaan dengan masa kejayaan Islam di Aceh. Sementara itu, di Semenanjung Malaya sendiri hingga sekarang kita temukan pula praktek pertunjukan Dikir seperti yang dikemukakan oleh William P. Malm dalam bukunya Music Cultures of the Pacific, The Near East, and Asia, edisi kedua, halaman 133.

Dari jurusan barat laut, Mandailing berbatasan dengan wilayah Tapanuli Tengah, dan di pesisir pantai barat ini terletak kota tua Barus yangs ejak dahulu dikenal sebagai ”kota pelabuhan dan perdagangan” yang banyak dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Di samping itu, kota Barus diasumsikan sebagai tempat masuknya agama Islam ke wilayah Sumatera Utara. Di kota perdagangan Barus pada masa itu diperjual-belikan berbagai komoditi dan salah satu yang cukup potensil dan terkenal adalah komoditi ”kapur barus”. Dalam hubungan ini diketahui bahwa orang Mandailing ada yang bermata pencaharian sebagai pencari ”kapur barus” di hutan-hutan dan mungkin juga sekaligus sebagai pedagangnya. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan bahasa sirkumlokusi yang mereka pergunakan sewaktu mencari ”kapur barus” di dalam hutan, yaitu ”hata parkapur” sebagai salah satu dari lima ragam bahasa yang dimiliki suku-bangsa Mandailing (Marapi, 1957:61).

Bertolak dari fakta di atas tidak tertutup kemungkinan bahwa orang Mandailing memperdagangkan komoditi ”kapur barusnya” sampai ke kota perdagangan Barus tersebut, dimana mereka menyusur pantai barat pulau Sumatra yang berawal dari Natal. Bahkan ada juga kemungkinan bahwa setelah mereka sampai di Barus, ada pula yang membawa barang dagangannya itu ke kota-kota pusat perdagangan lainnya seperti ke Malaka atau pun Samudera Pasai di Aceh. Di kota-kota perdagangan tersebut mereka (orang Mandailing) berdagang dan bergaul dengan para pedagang Islam seperti dari Persia, Arab, Gujarat dan lain-lain. Sebagai akibat dari interaksi tersebut, sampai sekarang di daerah Mandailing masih kita dengar perkataan-perkataan seperti ”ratib jongjong” (dzikir berdiri), ”podang Saidina Ali” (pedang Saidina Ali), ”tenju Saidina Ali” (tinju Saidina Ali), dan sebagainya, dimana perkataan-perkataan seperti ini berasal dari paham Islam Syiah, yang banyak peranannya dalam mengembangkan kesenian dalam dunia Islam. Dari berbagai keterangan di atas untuk sementara dapat dikemukakan bahwa kesenian Dikir yang terdapat di Mandailing dibawa oleh para pedagang ”kapur barus” orang Mandailing ke luat Mandailing. Dimana para pedagang Mandailing tersebut mengambil kesenian Dikir dari pusat perdagangan pada masa dahulu (Barus, Malaka, ataupun Sumadera Pasai) dan mereka kembangkan di tanah leluhurnya, tano sere Mandailing.**

Dimuat dalam Harian Waspada Medan, 1991

Strategi Pengembangan Pantai Barat Madina

Pantai Barat Mandailing Natal (Madina), sejak zaman dahulu merupakan kawasan yang empesona. Sejak zaman dahulu, para pedagang mancanegara banyak berdatangan ke wilayah ini, khususnya Pantai Natal, karena dianggap sangat strategis sebagai tempat pelabuhan dagang dan juga indah untuk beristirahat. Natal saat itu, sering juga dijadikan sebagai tempat persinggahan orang-orang yang melintasi Pulau Sumatera, meskipun tujuan utama mereka adalah untuk berdagang. Bagi pemerintahan Kolonial Belanda, Pantai Barat khususnya Pantai Natal, selain dijadikan sebagai pelabuhan perdagangan, juga dijadikan sebagai jalan untuk memasuki Mandailing dan sekitarnya, serta sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dan emas.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan Pantai Barat Mandailing Natal dikatakan sebagai tempat yang sangat menggiurkan karena potensinya yang luar biasa, yang antara lain ditunjukkan oleh wilayah pesisir dengan hamparan mangrove yang membujur dengan ketebalan bervariasi antara 50-150 meter, garis pantai yang luas dengan potensi perikanan yang melimpah, keindahan alam yang mempesona dan sangat berprospek sebagai objek wisata alam, kawasan potensial untuk lahan perkebunan, sebagai tempat penghasil sarang burung walet yang konon kabarnya merupakan sarang burung walet terbaik di dunia, hamparan hutan lindung yang luas dan kaya flora dan fauna serta aneka ragam jenis kayu dan hasil hutan lainnya yang bernilai ekonomis tinggi.

Ternyata kekayaan alam Pantai Barat ini di masa lalu ditunjang juga dengan sumber daya manusianya, terbukti dengan munculnya beberapa figur dari daerah ini baik yang tampil sebagai tokoh nasional maupun yang tampil sebagai tokoh daerah. Beberapa di antaranya, antara lain adalah Sutan Muhammad Amin; tokoh yang gigih berjuang melawan pemerintahan kolonial Belanda, sehingga sempat dibuang ke Bengkulu, Mekkah, dan kembali ke Bengkulu. Selain itu, tentu saja masyarakat luas sangat kenal dengan Sutan Takdir Alisyahbana; seorang sastrawan, seniman, budayawan dan tokoh pendidikan yang juga merupakan putra daerah pantai barat. Tokoh lainnya adalah Sutan Syahrir yang walaupun tidak lahir di Pantai Barat tetapi lahir dari rahim seorang ibu yang berasal dari Natal, yaitu Siti Rabiah. Tentu tidak ada yang membantah ketokohan anak bangsa berdarah Natal ini, beliau adalah tokoh perjuangan nasional dan pahlawan nasional, bahkan sempat dijuluki Si Bung Kecil karena semangat, integritas, dan kepribadiannya. Selain tiga nama di atas, masih ada lagi beberapa nama lain yang patut disebut sebagai bukti bahwa putra daerah Pantai Barat Mandailing Natal tidak kalah dibandingkan daerah lainnya, yaitu Sutan Bardansyah dan Sutan Oesman Sridewa yang malang melintang menduduki berbagai jabatan baik di daerah ini maupun di tingkat nasional.

Kondisi Masa Kini

Namun segala potensi kekayaan alam dan kejayaan masa lalu sebagaimana disebutkan di atas, rasanya banyak yang kini hanya tinggal kenangan. Natal tak lagi dikunjungi para pedagang dan tidak lagi berfungsi sebagai pelabuhan perdagangan dan tempat beristirahat. Natal seakan berdiam diri dengan simpanan sejuta pesonanya, bahkan masyarakat Indonesia banyak yang belum mengenal kawasan yang mempesona ini. Kawasan Pantai Barat boleh dikatakan tertinggal tidak saja dalam hal pembangunan, tetapi juga mencakup pendapatan dan produktivitas masyarakat serta berbagai sarana dan prasarana umum lainnya. Banyak masyarakat Pantai Barat yang hanya mampu mengeksploitasi sumberdaya yang ada tanpa ada upaya pelestarian dan pemanfaatannya untuk kepentingan yang lebih besar dari sekedar pemenuhan kebutuhan hidup saja, bahkan sebagian besar masyarakat pesisir di Pantai Barat Mandailing Natal menggantungkan hidupnya secara langsung di wilayah pesisir, mereka sebagian besar mempunyai taraf hidup pra sejahtera (miskin), terutama yang berstatus sebagai nelayan. Dengan kondisi yang sangat jauh tertinggal, mereka hanya sebagai nelayan musiman yang kontribusi dari hasil tangkapnya sangat minim.

Akar Permasalahan

Dari apa yang diuraikan di atas, secara umum dapat diidentifikasi bahwa akar permasalahan dan kendala dalam pengembangan Kawasan Pantai Barat Madina adalah (i) belum berkembangnya usaha perikanan tangkap dan budidaya, (ii) rendahnya kualitas sumber daya manusia, (ii) belum berkembangnya tempat pendaratan/pelelangan ikan, (iv) belum berkembangnya industri pasca panen hasil perikanan, (v) rusaknya hutan bakau, (v) potensi lain di luar perikanan, seperti pariwisata, pertanian, kehutanan, perkebunan belum termanfaatkannya oleh masyarakat. Jadi sepanjang akar permasalahan ini tidak diatasi, maka Pantai Barat akan tetap tertinggal, pantai nan mempesona akan tetap berada dalam tidur panjang, kejayaan masa lalu hanya sekedar kenangan indah, kesenjangan akan tetap bertahan dan pengrusakan lingkungan hidup akan terus berlanjut.

Pemberdayaan Masyarakat

Untuk meraih kembali kejayaan tersebut, perlu penanganan terpadu yang intinya adalah melakukan pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan yang dilakukan mestilah mencakup pemberdayaan pada aspek sosial, politik, dan psikologis. Karena pemberdayaan bermakna (i) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; (ii) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau kekuatan, maka upaya pemberdayaan masyarakat di Pantai Barat mestilah merupakan usaha memberikan tekanan pada otonomi pengambilan keputusan masyarakat, yang berlandaskan pada sumber daya pribadi, langsung (melalui partisipasi), demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Pemberdayaan masyarakat juga mestilah ditujukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, mempunyai akses terhadap faktor-faktor produksi, dan dapat menentukan pilihan masa depannya. Dari apa yang dijelaskan mengenai pemberdayaan di atas, maka hal utama yang mesti dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat adalah melakukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang pada intinya dilakukan melalui peningkatan mutu pelayanan pendidikan baik formal maupun non formal.

Dengan demikian untuk mengembalikan kejayaan Pantai Barat, langkah utama yang perlu dilakukan adalah peningkatan mutu pendidikan, peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dan penyelenggaraan pendidikan yang terpadu dan terintegrasi dengan seluruh komponen yang ada. Dengan kata lain pelayanan pendidikan yang dilakukan haruslah melibatkan pemerintah dan legislatif, dunia usaha dan perbankan dan lembaga pendidikan tinggi serta kelompok
masyarakat. Dengan demikian, lembaga pendidikan formal dan non formal akan berperan dalam menyiapkan lulusan yang berperan besar dalam pengembangan sektor riel dan tumbuhnya perekonomian setempat. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka diharapkan akan diperoleh sumber daya manusia yang berkemampuan melakukan pengembangan ekonominya (economic viability) melalui penguasaan teknologi, keterampilan dan manajemen usaha baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang berkaitan dengan usaha yang dijalankan. Di tengah-tengah masyarakat akan tumbuh dan berkembang nilai-nilai, jiwa, minat dan semangat kewirausahaan, akan memunculkan etos kerja yang unggul, akan termotivasi untuk menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi, akan disadari pentingnya pendidikan dan akan tumbuh keinginan untuk berubah, maju, dan berkembang, sehingga akan tumbuh usaha-usaha rakyat yg dikelola dengan baik.

Untuk tumbuh dan berkembangnya usaha-usaha rakyat tersebut, tentunya pemerintah daerah dan legislatif diharapkan dapat menyiapkan peraturan, menentukan kebijak-an dan memberikan pelayanan, sehingga diperoleh seperangkat aturan yang kondusif bagi usaha rakyat untuk berkembang, tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung, terbentuknya kelembagaan dan organisasi yang menunjang berkembangnya dunia usaha, terbukanya akses terhadap sumber keterampilan, teknologi dan pengetahuan serta terlaksananya tata pemerintahan yang baik. Selanjutnya, dunia usaha dan perbankan diharapkan berperan melalui pembukaan hubungan kemitraan dengan usaha rakyat, mengadakan kerja sama, serta menjalankan program community development, sehingga melalui dunia usaha dan kalangan perbankan, diharapkan akan terbuka akses masyarakat terhadap modal, akses terhadap informasi, akses terhadap keterampilan, teknologi, dan pengetahuan, akses terhadap pemasaran dan akses untuk lapangan pekerjaan. Jika berbagai pihak dapat berinteraksi dengan sekolah dalam membantu menumbuhkan usaha-usaha baru, maka diharapkan akan meningkatkan ketersediaan modal kerja baik modal yang dipupuk sendiri maupun modal tambahan dari luar (suntikan modal yang dapat dipertanggungjawabkan), meningkatnya akses pemasaran sebagai tempat pendistribusian out put dengan sistem pasar dengan harga yang stabil dan mendapat perlindungan dari pemerintah., serta terjamin ketersediaan sarana produksi pada masing-masing bidang usaha.

Pengembangan Pendidikan

Sesuai dengan penjelasan di atas, maka untuk pengembangan pendidikan di pantai barat diperlukan keselarasan antara pendidikan dengan komoditas unggulan dan potensi kawasan pantai barat, khususnya untuk sektor perikanan dan hasil laut, perkebunan, kehutanan yang dilakukan secara terpadu dengan sektor riel sesuai dengan potensi tersebut. Keterkaitan pendidikan dengan sektor riel antara lain (i) menempatkan posisi sekolah dan penyelenggara pendidikan non formal sebagai penyedia ilmu dan keterampilan dapat diaplikasikan sesuai potensi daerah, (ii) materi yang diajarkan oleh sekolah dan penyelenggara pendidikan non formal dimengerti dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan ekonomis mereka, (iii) masyarakat menjadi terampil berusaha baik dari aspek manajerial maupun aspek tehnis, kewirausahaan tumbuh dan berkembang, (iv) ada dunia usaha yang memberi peluang menampung lulusan sekolah dan penyelenggara pendidikan non formal, sehingga lapangan pekerjaan menjadi lebih terbuka, (v) dimungkinkannya diperoleh value added yang lebih besar dengan tidak lagi menjual berupa bahan baku, tetapi sudah dalam barang jadi atau setengah jadi, (vi) produktivitas bertambah, (vii) industri rumah tangga berkembang.

Untuk pengembangan pendidikan demikian, diperlukan peningkatan mutu pendidikan formal terutama yang terkait dengan 5 hal, yaitu (i) Kualitas, kuantitas, distribusi dan relevansi guru dengan pengembangan komoditas unggulan, (ii) (Calon) Siswa yang mempunyai keseriusan, kesungguhan, dan kesiapan siswa mengikuti dan mengembangkan serta yang mempunyai kepribadian, etos kerja, motivasi dan semangat dalam memperoleh ilmu pengetahuan melalui sekolah, (iii) Sarana pendidikan yang memungkinkan guru dan siswa mempunyai akses terhadap sumber informasi dan bahan bacaan, sarana laboratorium dan sarana praktek kerja yang diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mempraktekkan, mengamati dan menyaksikan sendiri teori-teori yang telah dipelajarinya, (iv) Sistem pendidikan dan manajemen sekolah, yaitu struktur organisasi sekolah, proses pengambilan keputusan, batas kewenangan pimpinan sekolah, metode pengajaran, kurikulum, sistem evaluasi, kedalam pengajaran materi, pengaturan jam belajar, peraturan siswa dan lain-lain termasuk pendidikan nilai untuk membina hati nurani agar peserta didik mempunyai kepekaan sehingga mereka menghayati nilai-nilai luhur yang menyangkut budi (kesadaran) dan pekerti (perbuatan), (v) Lingkungan masyarakat, yaitu faktor eksternal di luar sistem pendidikan seperti kondisi psikologis, sosial, budaya, kebiasaan lingkungan yang berpengaruh terhadap mutu pendidikan, termasuk bagaimana sikap dan kebijakan pemerintah.

Pendidikan Non-Formal

Untuk pendidikan non formal yang ditujukan kepada pengelola usaha rakyat, pemuda, serta anggota masyarakat lainnya di luar pelajar, di Pantai Barat perlu dibentuk pusat-pusat pelatihan dan keterampilan, perlu dilakukan pembentukan dan pembimbingan kelembagaan yang terkait dengan kelompok usaha seperti organisasi, koperasi, atau bentuk kelembagaan lainnya, serta memfasilitasi magang, studi banding, kursus singkat dan berbagai bentuk lainnya. Dengan berbagai pelatihan, pembimbingan dan pengembangan kelembagaan ini diharapkan akan meningkatkan kinerja usaha rakyat serta memunculkan usaha-usaha baru. Akhirnya melalui pengembangan sumber daya manusia baik lewat pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang dikaitkan dengan komoditi unggulan dan potensi Pantai Barat, diharapkan mutu sumberdaya manusia akan meningkat, sektor riel akan tumbuh, perekonomian akan berkembang dan ekonomi rakyat akan terberdayakan, serta kejayaan pantai barat akan dapat dinikmati kembali. Oh ya, begitukah ??? Boleh juga ngkali yaaaa....!!!

Dikutip dari Waspada Online oleh Zulkarnain Lubis